Aldio Merancia bercerita tentang geliat Liga Primer Indonesia di Jogjakarta melalui klub Real Mataram dan suporternya, The Royal Guards
Cinta pertama saya terhadap sepakbola nasional adalah ketika saya tinggal di Medan. Sesekali saya melihat pertandingan langsung PSMS di stadion Teladan. Sayangnya saya tidak lama tinggal disana, tetapi saya masih ingat kebanggan orang-orang Medan terhadap tim Ayam Kinantan dengan permainan rap-rap nya, semua orang hijau-putih datang ke lapangan. Selanjutnya saya pindah ke Bogor lalu sekarang di Jogja, selama diluar Medan saya merasa animo sepakbola kurang bersemangat seperti disana. Kegiatan saya menonton bola otomatis hanya mendukung tim-tim Eropa lewat televisi. Sampai akhirnya tersadar bahwa mendukung tim yang sangat jauh sampai berbeda benua seperti cinta yang tak akan pernah terbalas.
Timing pun menjawab tepat, wacana LPI bergulir keluar ketika bulan Desember. Inilah waktunya menurut saya untuk kembali mendukung tim langsung ke lapangan, bukan mengharapkan orang lain yang membuat saya bergairah mendukung tim lokal, melainkan saya yang harus bergerak membuat semangat agar yang lain ikut tertular. Saya segera mencari informasi adakah tim yang akan mewakili daerah saya. Namun informasi yang saya dapat minim sekali. Dan akhirnya saya mengetahui bahwa Real Mataram akan mewakili Jogja, tetapi saya tetap tidak punya gambaran sama sekali, jersey warna apa yang akan mereka kenakan karena saya mau menyesuaikan baju datang ke lapangan, lalu chant apa yang harus saya nyanyikan, dan berbagai macam pertanyaan lainnya.
15 Januari 2011. Pertandingan LPI pertama untuk Real Mataram digelar, lawan Real Mataram saat itu adalah Bali De Vata. Lalu saya lihat ke sekeliling orang-orang menggunakan baju berbagai macam warna, mulai dari hijau, biru dan merah. Saya mengerti karena hijau merupakan warna kebanggaan PSS Sleman yang telah bermain lebih awal di stadion Maguwoharjo, lalu biru warna kebanggaan PSIM yang mewakili kota Jogja di liga Ti-Phone. Sisanya rata-rata menggunakan merah yaitu warna jersey timnas yang kebetulan sedang laris diburu ketika piala AFF yang baru saja bergulir. Ketika pertandingan berlangsung, tidak ada chant, tidak ada lagu untuk dukungan Real Mataram, juga tidak ada sorak sorai ketika Real Mataram yang membawa bola, pertandingan berjalan hening. Dan lebih diperparah lagi karena Real Mataram kalah 0-1 dari Bali De Vata. Niat awal saya untuk mendukung tim lokal kembali berakhir pada pertandingan yang tidak seru, sepi dan berujung tragis.
Dari dunia maya, facebook & kaskus, saya bertemu dengan beberapa orang yang berkeinginan sama, yaitu mendukung Real Mataram. Kami pun melakukan kopi darat sekaligus berbincang-bincang dengan manajemen Real Mataram. Setelah mengerti dengan keinginan manajemen mereka pun menyetujui kami untuk membuat wadah supporter Real Mataram, dengan syarat tidak rasis dan tidak anarkis, kami juga diwajibkan membuat chant, anthem agar membuat suasana menjadi meriah untuk mendukung Real Mataram. Kami pun melakukan brainstorming membagi divisi-divisi untuk mempermudah bagian kerja. Sekitar 3 minggu kami bekerja keras, mengusahakan agar merchandise resmi bisa dijual ke masyarakat luas, chant dan anthem bergema ketika di lapangan, serta berusaha mempermudah orang-orang dalam mencari informasi tentang Real Mataram.
14 Februari 2011. Royal Guards resmi terbentuk sebagai wadah suporter yang resmi dari Real Mataram. Filosofi Royal Guards sendiri bermakna pelindung dari Real Mataram, seperti dimana Abdi Dalem melindungi Keraton dalam budaya lokal. Royal Guards tidak rasis dan anarkis, karena seperti karakteristik Daerah Istimewa Yogyakarta yang Real Mataram wakili masyarakatnya bersatu walau hidup dalam perbedaan.
19 Februari 2011. Tugas pertama Royal Guards datang pada hari ini, home match ke tiga. Real Mataram menjamu tamu dari jauh, Manado United. Pada hari itu saya senang berada di lapangan, semua sudah datang dengan baju yang seragam, merah seperti jersey home Real Mataram. Chant, anthem, membahana di seluruh lapangan. Ini sudah layaknya standar sebuah pertandingan menurut saya. Namun yang lebih membanggakan lagi bagi saya tidak hanya bapak-bapak melainkan perempuan dan anak-anak pun ikut menyaksikan pertandingan. Luar biasa sekali, pertandingan bola yang nyaman tanpa kerusuhan, bukankah itu semua yang kita harapkan.
Dengan adanya match yang aman seperti ini di setiap kota, maka seorang ayah tidak ragu lagi untuk menularkan kecintaannya terhadap sepakbola kepada anaknya. Dengan adanya match yang aman seperti ini, seorang ibu tidak akan takut untuk sekedar menemani suaminya menonton bola, atau mengawal anaknya untuk datang ke lapangan. Sebuah alternatif hiburan yang nyaman, dan dapat kita banggakan.
Selesai pertandingan kami sempatkan untuk bercengkrama dengan fans club lawan kami pada pertandingan tersebut yaitu The Man (Manado United Fans Club). Suasana hangat dan akrab, kami bersalaman, berkenalan, lalu mengalirlah obrolan-obrolan ringan mencairkan suasana, tak lupa pula untuk mengambil gambar bersama. Dan ketika The Man sudah mulai bergerak untuk pulang, kami pun menyanyikan yel yel “buat apa rusuh, buat apa rusuh, rusuh itu tak ada gunanya….” ya, buat apa rusuh, tidak ada gunanya, siapapun yang akan datang kemari pasti akan kami jamu sebagai tamu dengan baik. Walaupun sebenarnya hasil akhir berakhir imbang, tetapi tidak ada yang bisa mengalahkan rasa senang dan kebanggan saya pada waktu itu. Saya harap semua yang keluar stadion bisa ikut merasakan kesenangan yang sama.
HEBAT !!
I like it!
No Rusuh No Rasis
Mantabs..
Buat RG’s maju terus,meski kami tak di stadion, kami mendukungmu..
Maguwo adalah PSS… Bukan yg lain…!!!!
sekarang kemanakah real mataram????